Ketika Pria Ingin Menikah

 

Ketika Pria Ingin Menikah

 

Seorang pria, dalam perkembangan fisik dan psikisnya biasanya akan mendekati tingkat kedewasaan yang normal pada usia 25 tahun. Ini sebenarnya bukan survey yang valid, karena tingkat kedewasaan memang tidak bisa kita prediksikan melalui jumlah usia seseorang. Terkadang ada pria yang sudah berpikiran dewasa walau usianya masih remaja. Dan sebaliknya, terkadang pria yang usianya sudah tak remaja lagi tapi, sikap dan tingkah lakunya tak ubah seperti ‘anak-anak baru gede’.

Dan biasanya, ketika tingkat kedewasaan seorang pria meningkat. Kebutuhan naluriahnya sebagai manusia akan bergulir dengan sendirinya. Dalam pemikiran seorang pria yang normal, dia pasti akan memikirkan bagaimana ia harus menghidupi dirinya sendirinya, maka dengan itu ia pun bekerja. Dan begitu juga, sifat alamiahnya dalam membutuhkan pasangan hidup. Dengan itu ia pun akan memikirkan bagaimana ia menikah dan hidup berumah tangga.

Ketika seorang pria ingin menikah, maka ia telah memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Betapa tidak, ia akan membawa serta orang lain kedalam kehidupannya. Ia akan memberikan nafkah untuk istri dan anaknya, ia harus menjadi seorang pemimpin yang baik dan ayah teladan bagi anaknya. Konsekuensi ini tidak mudah, maka dari itu banyak sekali pria yang usianya sudah diatas 25 tahun, tapi belum juga berkeinginan untuk segera menikah. Banyak pria yang tak mau direpotkan dengan segala hiruk pikuk masalah yang ada dalam kehidupan rumah tangga. Maka kebanyakan mereka lebih nyaman dengan membujang dan tak mau segera menikah.

Memang, menikah itu tidak gampang. Banyak sekali masalah-masalah baru yang pasti akan anda temukan setelah menikah. Kehidupan terasa lebih kompleks, karena kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, tapi juga pasangan dan anak kita. Ditambah lagi kita masih berkewajiban untuk berbakti kepada orang tua dan mertua kita. Hmm, yang gak kuat mentalnya. Pasti akan ciut nyalinya ketika dihadapkan dengan beban realita yang pasti akan kita hadapi.

Bagi anda, para pria yang kini usianya sudah siap untuk menikah. Maka segerakan menikah. Ada tantangan baru dan super seru di dalamnya. Mulai dari mencari dan memilih calon istri yang tepat, menyiapkan pesta pernikahan, serunya malam pertama, dan hebohnya kita ketika istri mulai ngidam. Coba deh! Anda pasti akan suka dalam menjalani semua aktivitas itu.

Keinginan menikah memang sudah sepantasnya anda tanamkan dalam diri anda. Walau, dalam praktiknya, anda tidak bisa begitu saja bermudah-mudah dalam masalah ini. Ada persiapan yang matang dan perhitungan yang tepat agar pernikahan berjalan lancar. Tentu saja, persiapan itu dimulai dari siapnya niat kita, finansial, juga fisik dan mental. Faktor-faktor tersebut terkait satu dan yang lainnya dan memang tidak bisa dipisahkan. Jadi jika pada saat ini anda sudah mulai planning tentang pernikahan anda, maka siapkan faktor-faktor tersebut. Mantapkan niat, siapkan tabungan dan juga jaga stamina fisik dan mental anda.

Akhir kata, saya menghimbau kepada teman-teman saya yang saat ini masih membujang. Saya katakan, bahwa membujang itu tidak enak, tujuan hidup akan anda temukan setelah anda menikah. Kalau anda pria pemberani, maka anda akan berani menikah. Tentu saja tidak sekedar menikah, karena menikah hanyalah gerbang awal dalam membuka jalan panjang kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, mulailah menjadi sosok pria  idaman para wanita. Ada banyak wanita yang baik, cantik, kaya, saliha, dan pintar yang menanti anda di luar sana. Yuk jadi suami, dan masuki zona nya bersama saya! :)

 

Sumber :  http://themenworlds.com/2012/01/16/ketika-pria-ingin-menikah/

7 Komitmen Pernikahan

7 Komitmen Pernikahan

7 Komitmen

Idealnya pasangan suami-istri menentukan komitmen atau kesepakatan sebelum mereka menikah. Beberapa komitmen yang perlu dibicarakan antara lain :

Siapa bendaharanya?

Yang penting adalah transparansi antara Anda dan pasangan. Kedua belah pihak sama-sama tahu penghasilan masing-masing, dan yang terpenting, bagaimana memaksimalkan dan mengatur uang tersebut.

“Siapa yang memegang uang, bukan hal utama. Fleksibel saja. Apalagi sekarang ada joint account atau tabungan bersama di mana suami-istri bisa sama-sama memantau,” ujar Johanes.
Jika keuangan dipegang istri, apakah suami harus menyerahkan semua gajinya? Menurut Johanes, konsep ini tidak selalu tepat, karena ada istri yang tak bisa me-manage uang. Selain itu, jika Anda tinggal di kota besar seperti Jakarta, konsep suami menyerahkan 100% gaji pada istri juga “merepotkan”. Sebab, suami yang mobile atau bekerja, akan membutuhkan uang, semisal untuk beli bensin. Jika semua diserahkan ke istri dan tiap hari minta ke istri, repot.

Sebelum menyerahkan gaji ke istri, suami sebaiknya menentukan berapa anggaran per bulan, misalnya kebutuhan bensin dan hiburan (seperti beli buku untuk dirinya sendiri). Yang perlu diserahkan adalah yang menyangkut kebutuhan bersama.

Jadi, harus pintar-pintar mengatur supaya satu sama lain tidak begitu tergantung. Sangat perlu bikin anggaran keuangan bulanan yang jelas, mulai dari biaya listrik, telepon, air, makan, pendidikan anak, kesehatan, rekreasi, tabungan, dan hal lain yang tak terduga.

Tinggal di mana?

Tak jarang, lantaran belum punya tempat tinggal sendiri, pasangan suami-istri masih tinggal di rumah orangtua atau mertua. Selain itu, dalam kultur masyarakat Indonesia, kadang orangtua tak ingin anaknya meninggalkan rumah. Jadi, lebih enak tinggal di rumah sendiri atau mertua?
Idealnya dalam satu rumah ada satu keluarga dengan satu kepala keluarga. Jika satu rumah ada lebih dari satu kepala keluarga, sudah tidak sehat. Jika tinggal di rumah sendiri, Anda dan pasangan punya kemandirian untuk mengatur rumah tangga, mulai dari mengatur keuangan, tata letak rumah, hingga kondisi rumah. Anda juga memiliki kebebasan secara individual.
Sebaliknya, berikut hal-hal yang mungkin terjadi jika tinggal dengan mertua :

  1. Tidak memiliki keleluasaan untuk melakukan “eksperimen” sendiri, seperti mengatur rumah karena harus tergantung pada si empunya rumah, yaitu mertua.
  2. Perlu penyesuaian. Jika belum begitu lama mengenal mertua, proses penyesuaian mungkin akan terbentur ke sana kemari dan bisa jadi akan menimbulkan gesekan antara Anda dengan pasangan atau Anda dengan mertua.
  3. Perlu membatasi dan menguasai diri untuk bisa cocok dengan mertua.
  4. Dalam segi keuangan, biasanya jika anak masih bekerja sedangkan orangtua tidak, anak lebih banyak mendukung orang tua. Begitu juga sebaliknya. Jika orangtuanya sangat mapan dan anaknya belum, orangtua yang lebih men-support anak.

Untuk keuangan, suami-istri bisa sepakat berbagi dengan orangtua atau mertua. Semisal disepakati masalah kebutuhan dapur ditangani orangtua, sementara Anda dan pasangan menangani listrik dan telepon. “Jadi, perlu ada garis jelas mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang harus ditangani anak dan mana orangtua. Jangan sampai berkesan, anak menguasai orangtua dan sebaliknya,” jelas Johanes.

Berani berkata “tidak”

Dalam kultur Indonesia, campur tangan orangtua dalam kehidupan rumah tangga anak masih tinggi. Sejauh mana peran orangtua terhadap pasangan Anda, harus dikenali dalam masa pacaran.

Jangan sampai, setelah menikah pasangan tak bisa lepas dari orangtua, dalam arti “anak mami” atau “anak papi”. Contohnya, beli mobil saja pasangan harus bertanya ke orangtua, sedangkan Anda malah tak dimintai pendapat.

Pasangan akan merasa tak dihargai. Padahal, dalam pernikahan, pasangan adalah orang yang dimintai saran, bukan orang lain. Banyak pasangan terjebak dalam hal ini.”

Agar tidak terjadi, sebisa mungkin tidak sedikit-sedikit lari ke orangtua. Tanpa bermaksud menyakiti hati orangtua, berusaha dan berani mengambil keputusan sendiri. Jika selalu tergantung pada orangtua, lama-kelamaan kita tidak punya identitas diri. Jadi, pelan-pelan harus berani berkata “tidak” untuk sesuatu yang kita yakini benar. Dan harus bersama pasangan, jangan hanya satu pihak.

Batasi “hobi”

Anda suka nongkrong bareng teman sepulang kantor? Nah, setelah menikah, sebaiknya batasi frekuensi acara nongkrong bareng teman. Intinya, hindari melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung kehidupan suami-istri.

Alokasi keuangan

Beli mobil atau furnitur? Keputusan membeli mobil, misalnya, untuk suami-istri yang kondisi keuangannya pas-pasan, harus dibicarakan benar-benar. Jangan sampai salah satu pihak nantinya tidak puas. Intinya, modal atau harta yang merupakan hasil kerja bersama, harus disepakati bersama. Hal ini juga berlaku untuk harta yang merupakan hasil keringat sebelum menikah.

Punya anak atau tidak?

Hal ini mesti dibahas sebelum menikah. Jangan sampai setelah menikah Anda ingin punya anak, sedangkan pasangan Anda tidak. Jika memang ingin punya anak, sebaiknya pasangan suami-istri melakukan tes kesehatan pranikah.

Istri bekerja atau jadi ibu rumah tangga?

Hal ini berhubungan dengan kondisi ekonomi. Jika sebelum menikah Anda dan pasangan sudah bekerja dan setelah menikah suami tetap menginginkan Anda bekerja, Anda perlu pintar membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangga. Apalagi jika kelak punya anak. Kendati demikian, mengurus rumah tangga dan anak tidak dibebankan 100 persen pada istri. Idealnya, rumah tangga dan anak bisa dikerjakan berdua

Sumber : http://mudahmenikah.wordpress.com/2010/07/19/7-komitmen/